Hikayat Perang
Ketika seorang serdadu Belanda yang bernama Roels menembakkan sebutir peluru tepat ke arah Karim – yang hanya berjarak sekira 300 meter dan tak ada tempat untuk mengelak lagi – Karim memimpikan Ainal Mardhiah, bidadari surga yang kelak akan siap menyambut jasadnya.
Karim dan berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus santri Dayah Keutapang Dua hendak turun ke medan perang. Tersiar kabar yang mencekam bahwa serdadu Belanda perlahan-lahan telah mendirikan tangsi-tangsi militer mereka di tempat yang strategis. Penduduk-penduduk kampung banyak yang dibunuh tanpa soal, utamanya para lelaki. Lalu setiap jawaban-jawaban yang meluncur dari mulut perempuan-perempuan tua selalu dianggap sebagai pembangkangan.
Ketika itu, pada suatu Jumat yang agung di penghujung tahun 1875, usai shalat Jumat, di mimbar telah berdiri Teungku Muhammad Saman. Ia mengulang kembali isi khutbahnya tadi seakan meragukan para jamaah – yang didominasi oleh para santri – paham akan isi khutbahnya. Tapi kali ini ia membuka sebuah kitab. Dari gigir sampul yang agak buram, sekilas Karim hanya dapat membaca dua kata terakhir dari judulnya, Prang Sabi. Dalam bahasa Aceh yang parau, Teungku Muhammad Saman membaca kata-kata yang indah dan kalimat-kalimat yang elok serupa syair dari isi kitab itu. Iramanya persis seperti ceh seudati yang bersyair sehingga membuat para jamaah terbuai. Tapi ini bukan hikayat pengantar tidur melainkan hikayat pemantik api. Mereka terbuai bukan karena merasa ngantuk, namun hanyut dalam pesan-pesan indah.
“Wahai saudara, adik dan abang. Jangan bimbang, mari berperang. Tak usah hiraukan hulubalang. Merekalah sesat ikut setan. Mengapa agama tersia-sia. Dunia laksana akan fana. Ulama membisu bicara tiada. Medan perang sunyi tiada bergema.” Kitab itu berisi seruan jihad. Teungku Muhammad Saman ternyata punya misi untuk mengajak para santri ikut berperang di jalan Tuhan. Betapa tidak. Ketika pasukan Belanda hampir menguasai seluruh tanah Aceh, para santri masih tertidur seolah-olah musuh hanya menumpang lewat saja di negeri mereka.
“Wahai pemudaku intan baiduri. Usia dunia akan berakhir. Janji ilahi akan terbukti. Seperti dalam suratan takdir …” Teungku Muhammad Saman terus bersyair. Membaca halaman demi halaman. Para santri tekun mendengarnya, beberapa di antaranya tampak merinding atau barangkali benar-benar meresapi. Ketika ada seorang santri yang meneriakkan takbir di sela-sela pembacaan hikayat, seluruh santri mengikutinya. Bahkan mengulangnya sampai tiga kali. Kecuali Karim, diam membeku di tempatnya.
***
Kitab Hikayat Prang Sabi adalah sebuah kisah perang yang memukau. Konon katanya ditulis oleh seorang ulama dayah dalam bahasa Aceh menggunakan huruf Arab Jawi. Tidak jelas siapa sebenarnya pengarang kitab yang berjumlah 123 halaman itu. Sudah lazim diketahui, pada zaman itu, si pengarang kitab gemar mengaburkan identitasnya. Hal ini untuk menghindari si pengarang kitab dari sifat-sifat riya, takabur, bahkan mendekati sombong.
Dari sumber-sumber yang membingungkan, aku menemukan beberapa nama yang masyhur di telinga kita. Nama pertama tidak lain adalah Teungku Muhammad Saman sendiri (dalam buku sejarah ia lebih dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro). Selanjutnya terdapat nama Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Chik Tanoh Abee, dan terakhir Teungku Chik Pante Kulu. Tak satu pun kepastian di antara mereka yang mendekati kebenaran, menurutku. Apa sebabnya? Sejarah hanya ditulis berdasarkan rekaan dan ingatan yang sudah usang. Tapi jika kalian bertanya kepadaku siapa sesungguhnya yang mengarang kitab itu, maka aku akan mengikuti pendapat yang terbanyak saja. Lihatlah buku sejarah mana yang terbanyak mencatut nama-nama itu. Bukankah pendapat mayoritas biasanya lebih muktamad?
***
Karim tak pernah menduga dirinya akan ikut berperang. Satu hal yang paling ditakutinya selain Tuhan adalah mati. Baginya, perang adalah jalan menuju kematian. Saat santri bergerombol menuju ke sebuah tangsi militer Belanda yang berada di Olehle, Karim terlihat di tengah-tengah gerombolan itu. Sengaja ia mengambil posisi pertengahan bukan karena ia ingat tentang tutur Nabi, “Sebaik-baik urusan adalah pertengahan”, melainkan Karim merasa bahwa garis depan akan menjadi tameng baginya, dan garis belakang juga menjadi tembok jika musuh menyerang dari belakang. Untungnya ketakutan Karim ini tidak diketahui oleh seorang pun. Sebaliknya, santri-santri dengan penuh semangat memegang senjata mereka seakan-akan mati adalah pilihan. Bagi mereka, kematian di medan perang adalah jalan lain menuju ke surga yang didambakan oleh setiap Muslim.
Dengan penuh waspada, para santri mulai mengendap pelan ketika tangsi militer Belanda sudah terlihat. Hasan, yang bertugas sebagai pengintai berusaha maju lebih jauh lagi. Dialah yang akan memberi aba-aba nantinya apakah mereka siap menyerang atau menundanya pada saat yang tepat. Kicauan burung pagi membuat jantung Karim semakin kencang. Ia takut kalau-kalau serdadu Belanda sudah mengetahui perihal penyerangan itu. Belum sempat irama jantung Karim berdetak normal, tiba-tiba Hasan memberi isyarat untuk segera menyerang. Tanpa menunggu lagi, ratusan santri menyerang tangsi itu. Musuh yang terkejut lalu memberi aba-aba bahaya kepada para serdadu yang belum sepenuhnya sadar. Perang pun pecah. Berlangsung sengit. Para santri lajang itu berperang bagai kerasukan setan. Yang terlintas dalam benak mereka hanyalah bidadari-bidadari surga yang kelak akan mempersunting mereka. Karim hanya menyaksikan semua itu dari balik belukar yang terlindungi.
“Allahu akbar!” Pekikan takbir membahana mengantarkan pagi yang indah itu dengan malapetaka. Burung-burung laut melintas bebas seakan tak memedulikan pertarungan hidup mati di bawahnya. Ketika irama perang mulai mereda dan tak ada tanda-tanda letusan senjata musuh, Karim muncul dari semak belukar dan berupaya menghilangkan wajah takutnya. Ia memapah para santri yang terluka. Dan dengan wajah tak berdosa ia menerima tatapan tajam si korban yang terluka dengan tertunduk. Karim sadar tatapan-tatapan mereka adalah tatapan penghinaan.
Perang itu dimenangi oleh pejuang-pejuang Aceh. Mereka berhasil menguasai Olehle dan mengusir pergi serdadu-serdadu yang telah menguasai Kampung Lam Ara. Karim tampak merayakan kemenangan itu dengan membaca hikayat perang ketika mereka kembali ke kampung yang menjadi konsentrasi para santri. Tak hanya cuplikan Hikayat Prang Sabi yang dibacanya, tapi ia mengisahkan bagaimana para santri itu berperang melawan musuh dan bagaimana para santri yang syahid telah bercumbu dengan bidadari di surga sana dengan imajinasi yang memukau. Para santri dan penduduk-penduduk kampung yang mendengar hikayat kemenangan itu seakan lupa kalau Karim bukanlah seorang pejuang.
Di balik sifat penakut Karim, seyogianya ia menyimpan mutiara di dalam ingatannya. Ya, Karim seorang penghafal dan pengkisah yang ulung. Di Dayah Keutapang Dua, tak ada seorang santri pun yang mampu menandinginya dalam hal hafalan. Ia mampu menghafal pelbagai kaidah tata bahasa Arab dengan sempurna. Ia juga mampu mengingat pelbagai perubahan kata kerja bahasa Arab beserta turunannya. Ia juga mampu menuturkan syair-syair matafor dengan suara yang indah. Dan jangan sekali-kali berdebat dengan Karim karena ia juga mampu menempatkan kaidah-kaidah logika ke dalamnya. Kecerdasan Karim nyaris sempurna kecuali satu hal, perang!
Dalam pelbagai peperangan yang diikutinya, Karim tetap mengambil posisi di tengah-tengah. Ketika perang berlangsung, Karim tentu akan bersembunyi di tempat yang tak seorang pun dapat melihatnya. Tuhan seakan menyediakan tempat baginya untuk berlindung. Di medan perang para pejuang tak lagi menghiraukan keberadaan Karim. Mereka terlalu sibuk melayani musuh dan mencari celah menuju surga. Rencong Karim sampai saat itu tak sekali pun menyentuh darah. Ajaibnya, dalam setiap perang yang pernah diikuti Karim selalu berakhir dengan kemenangan. Ini akan menjadi bahan cerita kepada penduduk-penduduk yang menyambut kemenangan mereka. Lalu Karim dengan semangat yang menggebu-gebu mengisahkan bagaimana perang berlangsung. Kisah tentang bagaimana hebatnya para santri yang tersihir dengan Prang Sabi dan kisah imajinasi tentang bidadari-bidadari surga. Penduduk yang mendengarkan kisah Karim merasa tersanjung. Setelah berakhirnya kisah, selain mendapatkan koin-koin, pastilah ada beberapa penduduk yang mengajukan diri mereka untuk ikut berperang.
***
Dalam kitab Hikayat Prang Sabi kutemukan beberapa kisah ganjil yang terbagi dalam beberapa bab. Di antara bab-bab itu, kisah Ainal Mardhiah yang paling digemari. Dialah yang sangat dimimpi-mimpikan oleh para syuhada yang rela meninggalkan harta dan keluarga demi memperoleh cinta sang bidadari. Pernah kutemukan dalam sebuah lembaran sejarah, seorang pemuda Aceh (aku lupa nama pemuda itu) yang setelah mendengar pembacaan Hikayat Prang Sabi, tanpa ketakutan sedikit pun membunuh orang-orang Belanda yang dijumpainya.
Perang melawan kafir tak mesti terjadi di arena terbuka. Perang juga bisa dilakukan oleh satu orang. Terbukti memang, banyak pemuda-pemuda Aceh yang menyelipkan rencong di pinggangnya, dan ketika menemui serdadu Belanda di mana saja, ia akan membunuh si kafir itu. Petinggi-petinggi militer Belanda terpaksa melarang serdadunya untuk berjalan sendiri-sendiri. Minimal mereka harus berjumlah lima orang apabila ingin berbaur di pasar atau tempat-tempat keramaian. Di sanalah muncul istilah Atjeh Moorden di kalangan orang-orang Belanda. Yang barangkali dalam bahasa kita bisa disebut dengan Aceh Pungo.
***
Orang-orang berkumpul di bawah sebuah pohon yang tak jauh dari Pasar Aceh. Karim terlihat penuh semangat menceritakan kembali kisah penaklukan Lam Ara.
“Tahukah kalian, serdadu Belanda yang dulu menguasai Lam Ara harus menangis demi dilihatnya para pejuang kita. Lihatlah rencong ini! Dengan rencong ini telah kubunuh puluhan kafir Belanda. Jangan kalian remehkan rencong yang terlihat tumpul ini, nanti kalian akan dikutuk Tuhan. Tak guna senapang-senapang canggih karena ia akan kalah dengan rencong ini.”
“Apa target selanjutnya pejuang kita, Karim?” tanya seorang pengunjung.
“Eits, itu rahasia. Tidak boleh ada yang tahu, kecuali kami. Aku takut nanti ada mata-mata yang akan membocorkan jika kuberi tahu target kami selanjutnya. Pokoknya, kalian tunggu saja kisahku yang lain.”
“Bagaimana rupa bidadari surga itu? Apakah lebih cantik dari Maimunah anak Teungku Saleh?”
“Maimunah memang gadis cantik yang belum ada duanya di kampung kita. Tapi Ainal Mardhiah seratus kali lebih cantik dari Maimunah. Kalian tak akan mampu membayangkannya sehingga lutut kalian akan gemetar ketika melihat wajahnya.” Orang-orang yang merasa terhibur dengan kisah-kisah Karim memberikan beberapa koin kepadanya.
***
Pada tanggal 16 April 1876, satu detasemen Belanda yang hendak kembali ke tangsi Olee Kareng dikejutkan oleh musuh yang menyerang tiba-tiba. Ada sekitar 20 santri pejuang yang bersenjatakan rencong, kelewang, dan tombak menyerang detasemen Belanda itu secara kalap. Entah kebetulan saja perjumpaan itu terjadi atau memang sudah direncanakan, Karim terlihat di antara mereka. Tidak seorang pun tahu kenapa Karim begitu berhasratnya untuk menumpas musuh. Mungkinkah semalam ia bermimpi? Mimpi-mimpi perjumpaannya dengan sang bidadari? Tapi yang jelas Karim tampak gagah dengan rencongnya saat itu.
Beberapa serdadu Belanda menjadi korban amukan pejuang Aceh. Seorang sersan yang bernama Roels terlihat tak berdaya. Hasan yang sedang bersiap mengacungkan kelewang hendak menebas leher Roels berhasil dihalau oleh Kraakel. Selamatlah Roels dari maut. Tapi sayang bagi Hasan, ia tersungkur ke bumi akibat peluru yang menembus kepalanya. Melihat Hasan yang sudah mati, Karim semakin menggila. Tanpa menghiraukan ketakutannya selama ini, ia mengacungkan rencong ke udara dan meneriakkan takbir. Rencong berhasil menusuk perut Kraakel. Tapi Kraakel tak tinggal diam. Tampaknya dia prajurit terlatih. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia berhasil menendang Karim yang memang kelihatannya tak cakap dalam bertempur. Apakah Kraakel mati? Karim berharap demikian karena Kraakel tampak memegang perutnya dan berusaha menunda kematiannya.
Karim merasa hoyong karena isi perutnya berputar hebat. Ia mengeluarkan cairan dari mulutnya. Pada saat itulah, Roels mengisi senapangnya dengan peluru sambil mengucapkan sesuatu dan membidik tepat ke arah Karim. Jarak keduanya hanya terpaut 300 meter saja. Karim hanya menatap Roels dengan pasrah. Ia sudah siap menanti Ainal Mardhiah. Matanya dipejamkan sedemikian rupa. Mulutnya menyungging senyum. Dan dor!
***
Pada saat mengakhiri kisah ini, terlintas di benakku wajah Almarhum Abdul Karim, kakekku yang selalu mengulang-ulang kisah di atas. Aku merasa kisah ini hanya ingin menampilkan sebuah proses kekalahan, bukan proses perjumpaan yang syahdu dengan Tuhan. Aku juga merasa bahwa Karim, paman Abdul Karim, barangkali adalah orang yang sama. Hanya saja Abdul Karim merasa malu untuk mengatakan kalau dirinya adalah Karim. Ia benar-benar lihai mencampuradukkan antara fiksi dan fakta.
Aku, Abdul Karib, penerus Abdul Kasim, penjual obat keliling di Pasar Peunayong tidak akan melupakan kisah-kisah warisan itu. Ketika aku menjual obat kepada para pelanggan, aku tidak akan pernah jemu menceritakan hikayat perang ini.
Sebelum kuakhiri kisah ini, aku mencoba mencari hubungan antara Karim dan Do Karim, salah seorang penyair jalanan legendaris saat Perang Aceh. Pertautan hubungan ini selalu buntu karena aku tidak mampu menemukan sumber-sumber yang terpercaya. Tapi aku yakin, Karim dan Do Karim atau Abdul Karim sejatinya adalah orang yang sama.
Catatan Pengarang:
1. Dayah merupakan istilah lain untuk pesantren di Aceh
2. Ceh adalah orang yang membawakan syair dalam tarian seudati
3. Kata-kata yang diucapkan oleh Teungku Muhammad Saman di atas merupakan cuplikan dari Hikayat Prang Sabi
4. Ungkapan Atjeh Moorden atau Aceh Pungo ditujukan pada orang-orang Aceh yang tak takut mati atau setengah gila karena membunuh orang-orang Belanda di tempat keramaian
5. Do Karim adalah seorang penyair perang terkenal di Aceh pada masa Perang Aceh. Syair-syair yang keluar dari mulutnya dilakukan secara spontan. Hal ini mendorong Snouck Hurgronje untuk mencatat beberapa syairnya. Ia juga dikenal sebagai pengarang Hikayat Prang Gompeuni
0 Response to "Hikayat Perang"
Posting Komentar