Belajar Bersama di Museum Islam Samudra Pasai

Museum Islam Samudra Pasai

Museum Islam Samudra Pasai merupakan museum yang menyimpan benda-benda yang diyakini berasal dari Kesultanan Samudra Pasai. Para pengunjungnya akan diajak untuk mengetahui kehidupan di era tersebut. Museum yang mulai berfungsi sejak Juni 2017 dan diresmikan pada 9 Juli 2019 ini terletak di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.

Salah satu program menarik yang disediakan oleh pengelola museum adalah program "Belajar Bersama di Museum". Program ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada siswa-siswi sekolah tentang sejarah Samudra Pasai. Pemahaman sejarah yang tepat harus kita teruskan kepada generasi selanjutnya agar mereka tidak terperangkap dalam teori-teori sejarah yang banyak dibelokkan. 

Pada hari Sabtu (5/08/2023), sekolah tempat saya mengajar mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program belajar bersama di museum. Saya ikut mendampingi murid-murid yang berasal dari kelas IX pada MTsN 1 Kota Lhokseumawe. Beberapa hari sebelumnya, guru sejarah telah menghubungi pihak Museum Samudra Pasai tentang kegiatan kami tersebut. 

Perjalanan menuju ke museum dari sekolah kami berjarak sekitar 30 menit. Anak-anak tampak senang dan girang ketika berada di dalam bus. Mereka bernyanyi bersama tanpa menghiraukan bahwa ada guru-guru pendamping bersama mereka. Tetapi sebagai seorang guru, kami tidak melarang mereka untuk bernyanyi karena itu dengan cara itulah mereka mengekspresikan kebahagiaan mereka. 

Rombongan belajar dari MTsN 1 Kota Lhokseumawe tiba di museum sekitar pukul 09.30 WIB. Sepanjang perjalanan dilalui dengan perasaan senang, apalagi cuaca pada hari itu sangat mendukung kegiatan kami. Museum Islam Samudra Pasai terletak di daerah yang agak jauh dari jalan raya. Meskipun demikian, jalan menuju ke museum sangat mulus dan teraspal dengan baik. Hanya saja di sekitaran museum banyak sekali sampah-sampah yang bertebaran dan terkesan sangat jorok sekali. Mungkin sampah-sampah tersebut berasal dari sisa-sisa pegelaran Samudera Expo 2023 yang berlangsung tanggal 24-29 Juli 2023 yang lalu.

Jalan menuju Museum Islam Samudra Pasai
Jalan menuju ke Museum Islam Samudra Pasai. Sampah-sampah banyak sekali bertebaran. Foto saya ambil dari Monumen Samudra Pasai beberapa hari setelah Samudera Expo 2023 berakhir.

Setelah tiba di museum, para siswa turun dari bus dan memanfaatkan momen tersebut untuk saling foto bersama. Masih tampak keceriaan di wajah mereka. Mereka meninggalkan tas di dalam bus sesuai dengan arahan dari guru karena di dalam museum tidak diperkenankan untuk memakai tas. Mereka hanya diperbolehkan untuk membawa buku dan alat tulis seperlunya. 

Rombongan belajar disambut dengan hangat oleh pihak museum. Kebetulan hari itu kami akan dipandu oleh Laras Mufasya dan Novi Aditia yang merupakan duta museum serta dibantu oleh Yudi. Kak Laras sebagai duta museum menyambut kedatangan anak-anak dengan senyuman yang manis. Anak-anak berbaris dengan rapi dan mendengarkan instruksi dari Kak Laras. 

Program Belajar Bersama di Museum
Anak-anak dari kelas IX MTsN 1 Kota Lhokseumawe berfoto bersama sebelum mulai mengikuti belajar bersama di museum.

Setelah mendengarkan pengarahan dari Kak Laras dan foto bersama dengan memegang spanduk, anak-anak mulai masuk ke dalam museum. Pada ruangan pertama, Kak Laras mulai memperkenalkan sejarah awal tentang Kesultanan Samudra Pasai mulai dari raja pertama hingga setelahnya. Di dalam ruangan tersebut terdapat nama-nama Sultan maupun Sultanah yang memerintah pada masanya. 

Kak Laras menceritakan kisah tentang sultan pertama yakni Sultan Malik Ash-Shalih atau yang biasa kita kenal dengan Sultan Malikussaleh. Kisah-kisah epik semasa pemerintahannya mulai menarik perhatian anak-anak. Barangkali mereka belum pernah mendengar kisah sultan pertama yang mendirikan Kesultanan Samudra Pasai secara rinci.

Tidak hanya sang sultan, Kak Laras juga menyinggung tentang perempuan pertama yang pernah memegang tampuk kekuasaan di bidang pemerintahan, yakni Malikah Nahrasiyah atau lebih kita kenal dengan Sultanah Nahrisyah. Kedua nama ini kerap ditemukan dalam berbagai literatur sejarah. Sultanah merupakan putri dari Sultan Zainal Abidin, penguasa Samudera Pasai yang juga keturunan dari Sultan Malik Ash-Shalih.

Duta museum sedang memandu pengunjung
Duta museum Samudra Pasai, Kak Laras sedang memberikan penjelasan kepada rombongan siswa-siswi.

Setelah mendengarkan kisah-kisah para sultan, rombongan belajar berpindah ke sudut ruangan yang lain dengan memperkenalkan beberapa batu nisan pada zaman Samudra Pasai. Salah satunya adalah batu nisan tipologi "Kulah Kama Pasai". Batu nisan ini memiliki ornamen floris yang unik dan indah. Jarang sekali ditemukan batu-batu nisan serupa ini.

Batu-batu nisan pada zaman Samudra Pasai memiliki ukiran dan tulisan kaligrafi yang indah. Sepintas lalu saya melihat beberapa batu nisan dengan tulisan Arab yang saya sendiri tidak bisa membacanya meskipun saya kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Tampaknya memang perlu ilmu dan keahlian khusus untuk bisa membaca setiap tulisan-tulisan pada batu nisan kuno.

Duta museum Samudra Pasai
Duta museum Samudra Pasai sedang menjelaskan tentang batu nisan kuno pada masa Kerajaan Samudra Pasai.

Selanjutnya rombongan belajar beralih ke numismatika Samudra Pasai yang letaknya tepat di bagian batu nisan tadi. Pada masa Kerajaan Samudra Pasai, masyarakat telah mengenal uang maupun sistem barter. Rakyat Samudra Pasai memiliki mata uang sendiri yakni dirham. Uang dirham yang beredar di masyarakat dijadikan sebagai alat tukar selain barter yang memang telah dikenal sejak dulu.

Koin dirham atau deureuham merupakan koin emas yang merupakan alat tukar resmi. Setiap sultan juga memiliki mata uang dirhamnya masing-masing. Di museum ini kita bisa melihat koin dirham Sultan Muhammad Malik Az-Zahir maupun koin dirham Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Selain itu Museum Islam Samudra Pasai juga memiliki koleksi koin China dari Dinasti Yuan dan Dinasti Ming. Kemudian ada juga koin Sultan Muhammad Tughluq Delhi dan alat barter yang pernah digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Setelah puas mendengarkan penjelasan tentang mata uang, rombongan belajar juga diajak untuk melihat sekilas tentang keramik maupun tembikar yang pernah ada pada Kerajaan Samudra Pasai. Museum memamerkan pecahan-pecahan keramik dari China dan Dinasti Ming.

Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan besar pada era itu. Tidak hanya memiliki mata uang sendiri, untuk fashion maupun gaya hidup para perempuannya pun tidak kalah menariknya. Di bagian perhiasan, kita bisa melihat berbagai jenis perhiasan-perhiasan yang pernah dipakai oleh kaum hawa di antaranya seperti kalung, bros maupun anting-anting.

Perhiasan zaman Samudra Pasai
Salah satu perhiasan yang pernah digunakan oleh kaum perempuan di zaman Kerajaan Samudra Pasai.

Perhiasan-perhiasan yang memiliki nama unik tersebut membuat para murid mengernyitkan dahi. Barangkali mereka baru pertama kali mendengar nama-nama tersebut walaupun beberapa nama perhiasan itu tidak asing bagi mereka. 

Koleksi yang ada di museum misalnya saja taloe taku dan subang bungong meulue, taloe takue bieng meuh, taloe takue limong suson, boh do ma. Nama-nama perhiasan tersebut merujuk kepada bentuk dari perhiasan itu sendiri. Seperti taloe takue bungong meulue yang bentuknya mirip dengan bunga Melur. Begitu juga dengan taloe takue bieng meuh yang salah satu bagiannya menyerupai kepiting berwarna emas. 

Tidak jauh dari ruangan perhiasan, Kak Laras mengajak kami untuk melihat sekilas tentang kitab-kitab kuno yang menjadi koleksi museum. Saya hanya melihat beberapa buah kitab kuno saja di museum tersebut seperti Kitab Hujatul Balighah, Mushaf Quran Tulis Tangan, Kitab Bab An-Nikah, Kitab Tasauf, Kitab Kumpulan Doa, Kitab Siratul Mustaqim, Kitab Nubud Muhammad, maupun sebuah buku berbahasa Belanda.

Salah satu koleksi kitab di museum
Salah satu koleksi manuskrip pada Museum Islam Samudra Pasai.

Mengenai koleksi manuskrip memang kurang memuaskan. Semoga saja museum ini dapat menemukan beberapa koleksi manuskrip kuno yang memiliki nilai sejarah tinggi, khususnya manuskrip-manuskrip yang pernah ditulis pada zaman Kerajaan Samudra Pasai.

Selanjutnya kami berpindah ke ruangan perpustakaan digital dan ruang baca. Di dalam ruangan ini, anak-anak dipersilakan untuk duduk bersila karena pemandu akan menceritakan kisah para penjelajah yang pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai.

Dengan sangat meyakinkan, Kak Laras mulai bercerita tentang para penjelajah seperti Ibnu Batutah, Marco Polo, Laksamana Cheng Ho, maupun Tom Pires. Para penjelajah tersebut sangat terkesan dengan kehidupan masyarakat Samudra Pasai pada saat itu. Mereka tidak lupa untuk mencatat tentang kisah perjalanannya. Ibnu Batutah bahkan melahirkan catatan perjalanannya yang berjudul Ar-Rihlah.

Duta museum menjelaskan tentang para penjelajah
Pemandu Museum Islam Samudra Pasai menjelaskan tentang kisah-kisah para petualang dan penjelajah yang pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai. Para petualang dan penjelajah tersebut menuliskan catatan perjalanan mereka dalam bentuk jurnal.

Catatan-catatan perjalanan para penjelajah tersebut menjadi bukti otentik yang menegaskan bahwa Kerajaan Samudra Pasai merupakan sebuah kerajaan besar di Asia Tenggara. Jadi sudah sepantasnya kita sebagai generasi dari Samudra Pasai harus bisa menggali lebih dalam tentang sejarah kejayaan Samudra Pasai dulu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan masa depan. 

Mendengar penjelasan dari Kak Laras, anak-anak semakin terpantik semangatnya untuk belajar sejarah. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang ingin mereka tanyakan, namun pertanyaan tersebut dikunci oleh pemandu karena setiap pertanyaan akan dijawab pada sesi selanjutnya. Meskipun demikian, anak-anak tidak kecewa karena mereka sibuk menulis apa yang telah diterangkan oleh Kak Laras.

Selain menceritakan tentang para penjelajah, anak-anak juga diajak untuk memahami sejarah perjuangan bangsa saat terjadinya agresi Belanda. Beberapa pahlawan Aceh banyak yang syahid ketika membela tanah air dari penjajahan. Salah satu pahlawan Aceh yang berasal dari Aceh Utara adalah Cut Meutia yang rumahnya masih ada di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli. Mungkin pada kesempatan lain kami akan berkunjung ke sana.

Kemudian, Kak Laras memberi kesempatan kepada Kak Novi Aditia untuk memandu anak-anak. Kak Novi pun memperkenalkan dirinya kepada anak-anak dan dengan sangat meyakinkan mulai menceritakan tentang alat-alat musik tradisional Aceh. Penjelasan Kak Novi pun tidak kalah menariknya dengan Kak Laras karena anak-anak dengan mudah memahami penjelasan tersebut. 

Geundang Aceh
Geundang Aceh menjadi salah satu koleksi pada Museum Islam Samudra Pasai.

Saya bisa melihat beberapa koleksi alat musik di Museum Islam Samudra Pasai, di antaranya adalah rapa'i, geundang, seurune kale, canang ceurekeh, maupun alee tunjang. Duta wisata museum itu memperkenalkan semua fungsi alat-alat musik tersebut dengan singkat dan jelas. Saya pun mengagumi keluasan pengetahuan mereka terhadap benda-benda koleksi yang ada di museum. 

Dari alat-alat musik, mereka beralih ke benda-benda keseharian yang bisa ditemukan di rumah-rumah orang Aceh pada zaman dulu. Benda-benda tersebut barangkali sudah jarang kita lihat saat ini dan saya pun banyak yang tidak tahu beberapa fungsi benda tersebut. Misalnya saja mundam, panyoet tujoh mata, ciriek kunengan, cirik suasa, bate ranup, ceurana, sudahan, maupun cereupa. 

Anak-anak juga diperkenalkan tentang pelaminan adat Aceh dan asesoris yang dikenakan oleh pengantin pria (linto) maupun pengantin perempuan (dara baro). Lagi-lagi anak-anak sangat antusias dalam mencatat benda-benda tersebut.

Pakaian dara baro
Dara baro dengan pakaian pengantinnya di Museum Islam Samudra Pasai.

Selanjutnya kita bisa menemukan juga jenis-jenis senjata orang Aceh zaman dulu yang digunakan untuk berperang melawan Belanda. Kita pasti sudah mengenal rencong yang merupakan senjata khas Aceh. Tapi, ternyata bukan saja rencong yang digunakan oleh para pahlawan kita dahulu. Ada juga pedang dengan beragam jenis, seperti peudeung bari, peudeung meuapet, peudeung on teubee. 

Lalu bagaimana rencong bisa menjadi senjata mematikan? Pertanyaan ini tadinya pernah ditanyakan oleh siswa kami di ruangan perpustakaan. Kak Novi lalu menjawab bahwa zaman dulu di saat perang, rencong tersebut dilumuri dengan racun. Jadi, ketika musuh tertusuk rencong beracun, awalnya memang tidak apa-apa. Tidak lama kemudian, setelah racun bereaksi di dalam tubuh musuh, maka saat itulah kematian menjemput sang musuh. 

Senjata tradisional Aceh
Peudeung on teubee adalah senjata tradisional Aceh yang digunakan saat melawan Belanda. Senjata tradisional ini dipajang di Museum Islam Samudra Pasai.

Kemudian, Kak Novi mengajak kami ke lantai dua museum. Di sini kami harus melepaskan sepatu atau pun sandal. Kami duduk bersila karena pemandu wisata kali ini juga akan menjelaskan beberapa benda yang lazim ditemukan di dapur orang Aceh dahulu. Misalnya ada periuk nasi, belanga, blender manual (hehehe, alat seumeupeh), dan lain-lain. Kak Novi juga memperkenalkan beberapa benda untuk menangkap ikan seperti jala, bubee, dan lain-lainnya. Saya kurang fokus di lantai dua ini karena saya terpaku pada miniatur rumah Aceh yang dipajang di sana.

Lantai dua Museum Islam Samudra Pasai
Kak Novi sedang menjelaskan beberapa kegunaan benda sehari-hari orang Aceh zaman dulu kepada siswa-siswi MTsN 1 Kota Lhokseumawe.

Koleksi di lantai dua memang tidak sesemarak di lantai satu karena lantai dua agaknya lebih kepada sekretariat museum. Saya melihat beberapa ruangan untuk para pegawai museum. 

Di akhir kegiatan, pihak museum mengajak seluruh peserta belajar termasuk guru pendamping untuk memasuki aula museum di lantai dua. Di sini kami dijamu dengan snack alakadarnya. Yang uniknya, kami dipersilakan untuk duduk di tika duek, sebuah tikar berbentuk persegi yang terbuat anyaman daun pandan. Sudah lama saya tidak melihat tikar jenis ini. Dulu saat saya pulang ke kampung, saya sering melihat tika duek ini. Di rumah nenek saya sangat banyak tikar tersebut di mana setiap ujungnya dijahit dengan kain.

Setelah makan dan minum alakadarnya, Kak Laras bergabung kembali bersama Kak Novi dan anak-anak. Mereka akan membuat game untuk mengukur tingkat pemahaman anak-anak terhadap pembelajaran yang mereka peroleh. 

Anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok. Untuk game pertama, Kak Laras membagikan lima pertanyaan untuk dijawab oleh masing-masing kelompok yang telah dibentuk tadi. Anak-anak pun dengan sangat antusias menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Barangkali bagi anak-anak yang mencatat setiap penjelasan dari pemandu wisata pastilah mereka akan mampu menjawabnya.

Belajar bersama di museum
Anak-anak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Kak Laras.

Setelah game pertama selesai, kami sebagai guru pendamping juga ikut bermain pada game kedua. Kebetulan guru pendamping ada tiga orang yang masing-masing bergabung dengan ketiga kelompok siswa tadi. Game kedua adalah rangking 1. Setiap pertanyaan yang diberikan oleh pemandu wisata harus dijawab dengan segera. Tapi tidak ada yang gugur meskipun jawabannya salah.

Betapa serunya "Belajar Bersama di Museum" pada hari itu. Anak-anak sangat puas mendapatkan pengetahuan langsung dari duta wisata museum yang memiliki pengetahuan luas tentang benda-benda yang ada di museum. Di akhir kegiatan, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada kakak-kakak pemandu wisata tersebut. Semoga kami bisa kembali ke museum ini untuk bisa melihat-lihat lagi koleksinya.

Oya, bagi Anda yang ingin berkunjung ke Museum Islam Samudra Pasai, museum dibukan setiap hari Senin sampai Sabtu, hari Jumat dan Minggu tutup. Museum mulai dibuka pukul 10.00 hingga 16.00 WIB. Tidak ada biaya masuk ke museum. Kecuali jika Anda pergi secara rombongan dan membutuhkan pemandu. Museum menyediakan pemandu dengan tarif Rp. 200.000. []

0 Response to "Belajar Bersama di Museum Islam Samudra Pasai"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel