Pingai Menyeringai, Sagai Menggerapai

Ilustrasi cerpen

Nuruddin berdiri takzim di ujung geladak kapal. Tangannya tampak seperti orang yang memberi hormat lantaran silau cahaya matahari senja telah mengaburkan pandangannya.

Bandar Darussalam tinggal beberapa mil laut lagi dari kapal dagang yang ditumpanginya. Nuruddin berusaha melihat seseorang yang sudah menunggu dirinya ketika surat yang dikirimkan dari Gujarat Selatan beberapa bulan lalu mengabarkan kedatangannya. Orang itu tentu sudah menerima suratnya. Tapi bandar itu sungguh padat. Ia tidak bisa melihat orang yang dicarinya. Ia hanya melihat buruh-buruh tak berbaju dan berpasang-pasang keluarga bangsawan yang membawa anak-anak mereka untuk melihat kapal asing berlabuh. Tiba-tiba bunyi kerdam yang berasal dari peraka kapal membuyarkan lamunannya. Seorang kelasi telah menjatuhkan permadani Persia yang dihadiahkan kepada Sultan Tsani oleh nahkoda kapal. Kelasi ini membuat marah sang nahkoda lalu menderanya dengan cemeti yang senantiasa dibawanya. Cemeti itu akan berayun apabila ada kelasi-kelasi yang berbuat salah.

Bunyi terompet kapal sebanyak dua kali akhirnya menghentikan ayunan cemetinya. Perlahan-lahan kapal dagang itu berlabuh mengepil dermaga dengan nyaman. Para kelasi kembali bekerja termasuk si kelasi yang dicambuk tadi. Ia mengerang kesakitan. Nuruddin telah turun dari kapal itu dan melihat ada seseorang yang berlari-lari kecil ke arahnya. Nuruddin menyengih. Orang itulah yang dari tadi dicarinya. Setelah mencium tangan Nuruddin dan meminta maaf atas keterlambatannya, orang itu membawa Nuruddin meninggalkan bandar itu. 

***

Aku telah menghabiskan segelas lassi dan semangkuk kari ayam di sebuah kedai minum Lassi Laziz di Gujarat. Aku sedang menunggu kapal dagang yang hendak berlayar ke Darussalam. Sudah lima hari aku menunggu seraya menghabiskan bergelas-gelas lassi dan bermangkuk-mangkuk kari ayam. Namun belum ada satu pun kapal para saudagar kaya yang akan mengarungi Samudera Hindia. Kedai Lassi Laziz terletak di pinggir pelabuhan Gujarat. Aku terus memandang jauh ke timur, berharap ada kapal dari Arab yang singgah di Gujarat dan meneruskan pelayaran ke negeriku.

Sejak aku menerima surat dari salah satu sejawatku di Perkumpulan Perahu yang mengabarkan kematian Syekh Kamaluddin – ketua perkumpulan sekaligus guruku – telah membuat hatiku membengis. Dalam surat itu diceritakan bahwa Syekh Kamaluddin ditangkap dan diarak ke laut. Tubuhnya diikat di atas perahu cadik, lalu dibakar hidup-hidup. Mulanya tubuh Syekh Kamaluddin luput dari api. Tapi entah bagaimana, setelah dua jam kemudian tubuhnya menyatu dengan puntung perun. Lalu para pembakar Syekh Kamaluddin dengan penuh amarah memerun bangkai perahu cadik itu. Tidak ada bekas darah kehitaman, tidak ada tubuh yang sangit, yang ada hanyalah debu hitam yang larung bersama laut. Aku sangat yakin dengan makrifat guruku yang tinggi, Syekh Kamaluddin telah mengikuti jejak Tuan Guru Hamzah.

Dalam surat itu juga terdapat amanah Syekh Kamaluddin sebelum ditangkap di mana aku diharuskan kembali ke Darussalam. Berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat pada sidang istimewa Perkumpulan Perahu, maka ditetapkanlah sebuah keputusan yang wajib dipatuhi. Mereka telah menetapkanku sebagai pengganti Syekh Kamaluddin. Tentu saja keputusan ini membuatku terkejut. Memang, sebagai murid kepercayaan Syekh Kamaluddin, aku dianggap layak untuk memimpin mereka. Tapi muncul keraguan dalam batinku disebabkan misi rahasia dengan sandi pingai menyeringai sagai menggerapai belum tuntas kuselesaikan. Misi ini adalah misi yang sangat rahasia sehingga tidak seorang pun yang tahu dan tidak boleh kusampaikan pada siapa pun, termasuk para pembaca sekali pun. Aku minta maaf, karena hanya Syekh Kamaluddin yang boleh mengetahuinya.

Surat itu kubaca berkali-kali. Mungkin aku bisa menemukan sedikit rahasia di balik tulisan tangan sejawatku itu. Inilah keraguan yang nyata-nyata sedang kualami. Tiba-tiba tanpa sengaja jariku menyentuh sekoin emas seberat 17 karat dalam saku kurta yang kupakai sejak aku berada di Gujarat, koin yang sama yang diberikan oleh Syekh Kamaluddin yang tidak kuketahui maksudnya. Kuperhatikan dan kubolak-balikkan koin itu. Dua sisi koin itu persis menggambarkan masalah yang kuhadapi saat ini. Koin dengan sisi Seri Sultan menegaskan bahwa misi pingai menyeringai sagai menggerapai haruslah kutemukan hakikatnya. Sedangkan koin bersisi Johan Berdaulat menandaskan bahwa aku harus mematuhi hasil musyawarah dan mufakat sidang istimewa, karena itu adalah sebuah keputusan yang paling tinggi dalam perkumpulan kami. Pertarungan batinku antara keraguan dan keyakinan telah menjebakku dalam ruang yang penuh labirin. Aku seakan tersesat dalam labirin batinku sendiri. Sementara itu, pemilik kedai minum Lassi Laziz yang telah memahami kegundahanku selama berhari-hari membiarkanku duduk di luar kedai. Sedangkan kedai minumnya ditutup rapat karena malam telah larut.

***

Di Surat, salah satu kota di Gujarat, aku telah bertemu dengan seorang tua yang lusuh dan dekil. Kurta yang dikenakannya tidak lagi putih, tapi sudah menguning akibat seringnya ia menari di jalan yang penuh debu. Kepalanya tak pernah melepaskan serban sehingga aku sulit melihat helaian rambutnya, apakah sudah memutih seperti janggutnya, atau mungkin tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Aku tidak pernah tahu namanya sampai sekarang. Hanya saja aku memanggilnya dengan Tuan Rebana. Si tua ini memang selalu membawa rebana ke mana pun ia pergi. Suaranya serak dan melengking, tubuhnya ringkih dan kakinya gesit. 

Tuan Rebana saban hari bisa kita temui di pasar Surat ketika orang-orang sibuk dengan kegiatan jual beli. Bak seorang penyanyi panggung, Tuan Rebana menyanyikan syair-syair yang tak kupahami maknanya. Tangannya tak henti memukul rebananya sehingga membuat suasana pasar bertambah gaduh. Di lain hari, bak tukang sulap ia membakar kayu-kayu sehingga mengeluarkan api yang besar. Dengan santainya ia menari di atas bara api tanpa luput sedikit pun dimakan api. Hari selanjutnya, ia menusuk-nusukkan belati ke tubuhnya. Ia memotong-motong tangan dan kakinya dengan pedang. Ia juga menyuruh orang-orang untuk melemparnya dengan batu besar. Siapa yang berhasil membuatnya berdarah, maka akan diberikan hadiah uang yang besar. Tapi tidak satu pun yang berhasil membuatnya berdarah, termasuk aku yang berkali-kali mencobanya.

Kadang-kadang ketika aku menemui jalan buntu dalam menunaikan misiku, aku menikmati ocehan dan atraksi Tuan Rebana. Aksinya memang sangat memukau sampai-sampai aku hampir melupakan misiku. Si Tuan Rebana seakan mampu menyihirku untuk bisa terus mendengar syair-syairnya dan menonton aksi berbahayanya. Sedangkan orang lain menganggap si Tuan Rebana adalah orang yang gila.

“Percuma saja kauhabiskan waktumu mendengar ocehannya,” kata seorang penjual gerabah menghalau lamunanku.

“Benar, kulihat matamu tidak berpaling darinya,” sahut si penjual bumbu masakan.

“Pemuda dari Melayu itu berhasil digilai oleh si gila perapal syair,” sambung si tukang tempah sambil terkekeh.

Aku mengabaikan mereka semua. Di suatu hari, usai si Tuan Rebana melakukan aksinya, aku mendekatinya. 

“Tuan, bolehkah saya diajarkan bersyair dan kebal?” pintaku.

Si Tuan Rebana tertawa terbahak-bahak. “Bertambah lagi satu orang gila di dunia ini,” serunya sambil meninggalkanku dalam kebingungan.

Esoknya kutunggui si Tuan Rebana di tempat yang sama. Usai dia beraksi, selalu aku memintanya untuk mengajarkanku bersyair dan kebal. Dengan setianya aku merengek padanya sehingga dia tidak sanggup lagi mendengar rengekanku.

“Baiklah, jika kau ingin sepertiku, pergilah kau ke Haramain. Temui orang yang bernama Ba Syayban. Dia akan mengajarimu cara bersyair sampai mabuk sehingga kaubisa merasakan Tuhanmu.”

Seperti yang dikatakannya, aku berangkat ke Haramain menumpangi kapal saudagar Arab.

***

Di Haramaian, tidak kutemui orang yang bernama Ba Syayban ataupun orang yang mengenalnya. Berbulan-bulan aku terdampar antara Makkah dan Madinah mencari orang yang bernama Ba Syayban. Sehingga di suatu hari aku tersasar di Yaman. Betapa terkejutnya aku ketika di sebuah lapangan aku menjumpai si Tuan Rebana yang sedang bersyair dan beraksi. Tidak seperti di Surat, di sini si Tuan Rebana dipadati oleh orang-orang. Aku yakin dia adalah orang yang sama, meskipun dia mengenakan pakaian Arab. 

“Tuan Rebana, apakah kau masih ingat denganku?” teriakku sambil berlari ke arahnya membelah kerumunan orang-orang. 

“Orang gila, minggir kau dari sana. Jangan kauhalangi guru kami mengajar,” usir salah seorang dari mereka. Kemudian aku dijauhkan dari si Tuan Rebana. Melihat kemarahan orang-orang, kuurungkan niatku untuk mendekati si Tuan Rebana. Aku menyaksikannya bersyair tentang Tuhan. Orang-orang yang mendengarkan syairnya seperti mabuk kepayang. Tidak lama kemudian, pukulan rebana menggema di lapangan itu. Orang-orang yang menonton aksi si Tuan Rebana juga memiliki rebana yang sama. Mereka mengikuti gerakan si Tuan Rebana. Sekejap kemudian mereka menghunuskan pedang dan menebas tubuh siapa saja yang berada di dekatnya. Aku menjauh dari mereka yang sudah kesurupan. Anehnya, tubuh mereka tidak terluka dan terbakar ketika berjalan di atas bara api di tengah lapangan itu.  

Setelah aksi itu selesai, aku lagi-lagi menjumpai si Tuan Rebana. “Apakah Anda si Tuan Rebana yang kerap bersyair di pasar Surat?” tanyaku. “Bukan, aku adalah Ba Syayban,” jawabnya. Aku hampir pingsan dibuatnya dan segera kucium lututnya seraya menghamba diri agar aku diangkat menjadi muridnya. Bertahun-tahun aku belajar dari Ba Syayban hingga di suatu hari kembali aku teringat dengan misi pingai menyeringai sagai menggerapai. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Surat.

***

Kapal yang akan membawaku ke Darussalam akhirnya berlayar juga. Tidak sabar aku ingin segera sampai ke sana. Aku sudah tahu beberapa rahasia bagaimana cara mengalahkan ilmu Nuruddin. Aku juga tidak bisa menyembunyikan kegeramanku pada ulama-ulama tiruan yang telah membantai guruku dan sejawat-sejawatku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri akan membawa pencerahan pada kegelapan pemikiran di Darussalam. Akan kubuktikan pada Nuruddin bahwa Perkumpulan Perahu tidak mengajarkan aliran sesat.

“Pemuda Melayu, kenapa kau begitu gusar?” tanya seorang saudagar Arab yang sejak tadi memperhatikanku.

“Aku sudah tahu cara untuk mengalahkan Nuruddin,” jawabku kukuh.

“Nuruddin sang mufti maksudmu?”

“Ya.”

Seluruh penumpang kapal menertawakanku. Mereka terpingkal-pingkal sambil menggulingkan tubuhnya di atas geladak kapal. Ada juga yang menghantamkan kepalanya pada tiang kapal karena tidak sanggup menahan kelucuan. Aku bertambah bingung dengan sikap mereka.

“Kenapa kalian semua tertawa?” tanyaku.

“Karena kau sudah gila. Ha ha ha.”

“Pemuda Melayu, apa kau tidak tahu kalau Nuruddin telah dikalahkan oleh seorang yang tinggi ilmunya.”

“Tidak,” jawabku.

“Nuruddin sudah meninggalkan Darussalam. Dia menanggalkan jabatan mufti di hadapan Sultanah. Orang-orang tidak tahu ke mana Nuruddin pergi.”

“Oh,” aku tersentak, “Lantas bagaimana dengan semua kekacauan yang terjadi?”

“Tidak ada lagi kekacauan. Semua pengikut tarekat dan aliran agama sudah berdamai.” 

“Siapakah orang yang mengalahkan Nuruddin itu?” tanyaku penuh takjub.

“Kalau tidak salah, namanya Saiful Rijal orang Minangkabau.”

Tiba-tiba seluruh tubuhku bergemetar. Kepalaku terasa berat. Mataku seperti melihat kunang-kunang yang menari. Tidak lama kemudian, aku mengambil sepucuk surat yang terselip dalam sebuah kitab Syair Burung Pingai. Kuperhatikan dengan seksama. Surat itu ternyata telah ditulis beberapa tahun lalu dan ditandatangani oleh Saiful Rijal. []

0 Response to "Pingai Menyeringai, Sagai Menggerapai"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel