Aku Harus Membunuh Ampon Lah Demi Ainal Mardhiah

Terkutuklah Ampon Lah! Seorang uleebalang yang telah bersiasat untuk meminang pujaanku, bungong jeumpa yang kelak akan menghias taman hatiku.

Persekongkolan ini tak lepas dari ulah Leubee  Hasan. Ia berhasil meyakinkan ayah Ainal Mardhiah berkat kelihaiannya menjilat. Dulu aku pernah memakai jasanya. Bukan rahasia kalau ia adalah seorang seulangkee  yang masyhur di Kutaraja. Ada banyak seulangkee yang bisa ditemukan selain Leubee Hasan, semisal Mak Ramulah, Mak Hadijah, atau Leubee Beurahim. Namun di antara mereka jarang sekali yang punya kelicikan dalam perkara menjilat. Semestinya tugas seorang seulangkee adalah memperhubungkan dua manusia hingga terikat tali perkawinan tanpa tipu daya. Tapi bagi Leubee Hasan, asal ada uang segala urusan menjadi gampang.

Ampon Lah atau Teuku Abdullah adalah sosok uleebalang yang culas, boros, malas, dan tak bisa berpaling mata jika melihat gadis berparas. Semua ihwal tentang Ampon Lah aku peroleh dari seorang rekan, Pawang Seuman yang memiliki mantra perabun mata dalam komplotan kami. Katanya Ampon Lah sudah tiga bulan berada di Kutaraja. Ia anak Uleebalang Lhokseumawe yang dikirim ke Kutaraja untuk bekerja di kantor pemerintahan. Ayahnya sangat muak melihat tingkahnya. Kelakuannya itu telah membuat malu bangsawan lain. Dengan mengirimnya ke tanah rantau, barangkali perilakunya akan berubah.

“Dalam waktu dekat Ainal Mardhiah akan dilamar oleh Ampon Lah. Kemarin aku dan Tengku Syamaun dipanggil ke rumah Ainal Mardhiah. Mereka mengembalikan hadiah ranub kong haba  yang kita bawa tempo bulan lalu. Ini sebuah penghinaan bagi adat kita,” kata Pawang Seuman.

“Benar, Pang Karia. Kita harus adukan kepada hakim!” tegas Tengku Syamaun.

Aku tidak memberikan jawaban. Kegalauan sedang mencapai puncaknya. Belum pernah dalam hidupku terjadi keadaan yang sedemikian rupa peliknya. Padahal sebagai kepala komplotan Rincong Apui, aku tak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Semua keputusanku bersifat mutlak. Wajib dilaksanakan oleh dua puluh sembilan bawahanku tanpa terkecuali. Seharusnya aku tidak boleh cengeng hanya gara-gara cinta. Namun meninggalkan Ainal Mardhiah atau membiarkan tubuh sucinya digumuli oleh Ampon Lah, tentu aku tak sudi.

Situasi ini tidak boleh berlanjut. Aku seharusnya malu pada anggotaku. Mereka semua patuh pada titahku. Bahkan orang-orang di Kutaraja sangat menyegani komplotan ini, terutama orang-orang kaya yang punya hubungan dengan Belanda. Tidak ada orang kaya yang mau berurusan dengan kami, meskipun mereka tidak pernah mengetahui wajah kami yang selalu ditutup dengan setangan setiap kami beraksi di kegelapan malam.

Malah para orang kaya Belanda sampai kehabisan akal untuk membasmi komplotan kami yang kerap menjadi sasaran empuk. Ke mana mereka akan memburu kalau mereka sendiri tidak mengetahui wajah kami? Pernah seorang tuan besar Belanda yang ada di Neusu memancing kami untuk merampok rumahnya. Puluhan polisi disiagakan. Aku terpancing dengan tantangannya. Beberapa hari kemudian, saat malam terlalu pekat dan desau angin membuat lirih, aku dan enam orang dari komplotan kami merampok rumahnya. Berkat mantra perabun mata Pawang Seuman, dengan mudah kami memasuki rumahnya. Tak ada seorang polisi pun yang melihat kami. Aksi kami berjalan mulus. Lalu ketika pagi masih berembun, barulah si tuan besar itu menyadari bahwa uang dan emas yang disimpannya telah raib.

Ke mana segala hasil rampokan kami mengalir? Sebelum subuh benar-benar sempurna, sebagian uang kami bagi-bagikan ke setiap rumah fakir miskin. Sedangkan emas tetap kami kumpulkan untuk membeli senjata. Kami punya rencana besar. Ingin menghancurkan jembatan di atas Krueng Peut Ploh Peut  yang kerap dilalui kereta api. Jika jembatan itu hancur, Belanda akan kewalahan mengirimkan alat-alat perang ke tangsi militer yang ada di Kutaraja. Nantinya setelah kekuatan kami telah cukup, maka akan kami tumpas seluruh bangsa Belanda. Impian ini memang gila. Namun harus terwujud karena leluhur kami, para pejuang sejati telah banyak mati di tangan kompeni.

Seandainya cinta ini sulit aku bendung dan akan mengacaukan impian kami, maka aku adalah orang yang paling berdosa. Bukankah aku sendiri yang mendirikan Rincong Apui pada musim penindasan? Kala itu komplotan kami berjumlah lima orang: Pawang Seuman, Pang Ma’e si kebal, Tengku Syamaun si penghafal kitab Arab, Amat Bheng si mulut besar, dan aku sendiri.

Pawang Seuman dan Tengku Syamaun rupanya sejak tadi telah meninggalkan diriku. Mereka paham terhadap kegundahan hatiku. Keadaan ini membuatku semakin merindukan Ainal Mardhiah. Sejak pertunangan kami, belum sekalipun aku menjumpainya. Hanya berkirim kabar lewat surat. Kembali aku membuka kenangan. Aku bertemu dengannya di pasar malam Neusu. Di antara keremangan cahaya hanya dialah yang tampak bersinar terang. Luluh hatiku seketika. Sejak pertama kami saling memandang dan terperangkap dalam kebisuan, aku terus memikirkannya.  

Bukan sekali dua aku bertemu dengannya secara kebetulan. Di mana ada pusat keramaian di situ aku kerap melihatnya. Lalu pada satu hari ketika aku melalui Pasar Aceh, aku kembali melihatnya. Kali ini aku menyapanya. Berkenalan secara sopan. Ia tampak malu-malu. Mukanya sudah tentu bersemu merah. Sejak itulah aku rajin menulis surat kepadanya setelah aku mengetahui nama dan alamatnya. Tentu dengan bantuan Tengku Syamaun, karena dalam komplotan kami hanya ia yang mampu baca tulis huruf latin.

Akhirnya aku mengutus Leubee Hasan sebagai seulangkee. Setelah tiga kali ia bertemu dengan orangtua Ainal Mardhiah, maka sepakatlah kami mengadakan pertunangan. Aku menghadiahkan sebuah cincin emas dengan berat tiga mayam agar kedua orangtuanya yakin terhadap calon menantunya. Tapi gara-gara kumbang bangsat itu yang telah menabur racun dalam madu, orangtuanya yang gila harta telah mengembalikan ranub kong haba kepadaku. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak terpuji.

Tiba-tiba kemarahanku sampai ke ubun-ubun. Aku harus membunuh Ampon Lah demi Ainal Mardhiah. Ia harus dilenyapkan dari bumi ini. Begitu juga dengan Leubee Hasan. Ia juga harus diberi pelajaran agar tak ada lagi korban ketamakannya. Tapi rencana ini tidak boleh diketahui oleh siapa pun. Akan kuhadapi semuanya sendiri. Itulah keputusanku.

***

Beberapa hari kemudian. Saat gerimis malam Jumat, aku mengetuk pintu rumah Ampon Lah. Seorang laki-laki berbadan kekar muncul dari balik pintu. Kupandangi orang yang ada di hadapanku. Sempat kecut hatiku. Tubuhnya barangkali kali lebih kuat dariku. Tapi aku tak gentar karena cintaku lebih kuat dari segalanya.

“Apakah kau yang bernama Ampon Lah?” tanyaku seketika.

“Benar. Ada urusan apa malam-malam begini? Mau minta uang?” jawabnya angkuh.

“Aku Pang Karia. Kekasih dan tunangan Ainal Mardhiah,” kataku dengan tegas. Aku tak boleh kalah mental dengan sosok yang berbadan kekar itu.

“Pang Karia pemuda nganggur? Bekas kuli Atjeh Tram  itu?” ejeknya. “Mau kasih apa kamu untuknya? Apa kerjamu sekarang? Sawah kebun tak punya. Kerbau sapi tak ada. Sekolah jangan tanya. Baca tulis tak bisa. Bikin malu kaum laki sahaja.”

Aku terperanjat. Dari mana ia tahu latar belakangku? Mungkinkah dari Leubee Hasan? Aku pernah cerita riwayat hidupku kepadanya.

“Jangan kau rentang panjang lagi cakapmu! Aku tantang kau berduel. Laki sama laki. Kita lihat, siapa yang benar-benar laki-laki sejati.”

Kali ini Ampon Lah yang memerhatikan diriku. Memang badannya lebih besar dan kekar. Ia berpikir dapat meraih untung. Kalau sahaja ia tahu aku adalah pimpinan Rincong Apui, tentu kemaluannya akan ciut. Tapi malam ini lupakan semuanya tentang Rincong Apui.

“Baiklah. Aku terima tantanganmu. Duel pakai tangan atau senjata?” oloknya.

“Terserah kau saja!” amarahku tak terbendung lagi.

Duel tangan kosong pun terjadi. Aku mengayunkan tinju ke mukanya. Ia begitu tangkas dan berhasil menghindar. Tak lama kemudian, ia melayangkan pukulan balasan yang mengenai ulu hatiku. Belum selesai eranganku, ia telah melayangkan pukulan bertubi-tubi. Aku terpojok. Tanpa sadar aku meraih rencong dari selipan pinggang. Dengan sekali tebas rencong itu berhasil melukai lengannya. Kini posisiku agak menguntungkan.

Ketika aku maju beberapa depa, Ampon Lah memasuki rumahnya. Aku mengejarnya tapi ia sudah berhasil meraih kelewang begitu cepatnya. Nyaliku menciut sesaat. Dengan kelewang di tangannya, mungkin ia lebih unggul sedikit. Ia mengayunkan kelewang itu. Nyaris mengenai leherku. Tapi tebasan balik kelewang itu berhasil menyayat perutku. Tebasan selanjutnya mengenai dadaku. Pertahananku sungguh lemah. Lalu darah pun bercucuran.

Dengan sisa-sisa tenaga aku melarikan diri. Dua orang jongos keluar dari rumah Ampon Lah. Seseorang hendak mengejarku, tapi Ampon Lah melarangnya. Ia hanya mengeluarkan sumpah serapah. Ia telah menang. Aku harus mengakuinya. Darah semakin banyak keluar hingga menyebabkan tubuhku menjadi lemah. Setelah merasa agak jauh dari rumah Ampon Lah, langkahku semakin berat. Aku sempat berpikir akan mati karena gigil di tubuhku tak tertahankan.

“Maafkan aku, Ainal Mardhiah. Aku tak berhasil membunuhnya,” lirihku.

Tiba-tiba nafasku semakin sesak. Sayup-sayup di keremangan malam, aku melihat sebuah kahar melintas pelan. Sebelum sempat menghentikan kahar itu, aku terjatuh ke tanah dan tidak sadarkan diri.[]

0 Response to "Aku Harus Membunuh Ampon Lah Demi Ainal Mardhiah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel