Tradisi Meugang Menyambut Idul Fitri

Tradisi meugang di Aceh tidak terbantahkan dan telah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat sejak masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Konon katanya, sang Sultan-lah yang menginisiasi tradisi ini dengan menyediakan daging sapi atau kerbau bagi rakyatnya. Saya memang belum menemukan referensi untuk memperkuat bacaan tersebut. 

Dalam satu tahun terdapat tiga kali meugang, yaitu sehari sebelum bulan Ramadan, sehari sebelum hari raya Idul Fitri, dan sehari sebelum hari raya Idul Adha. 

Meugang atau makmeugang adalah merayakan kebahagiaan bersama keluarga dengan menyantap daging sapi atau daging kerbau. Di meja makan akan terhidang beragam masakan dari daging sapi. Ada rendang, masak putih, daging asam pedas, kari sapi, sie reuboh, sop tulang, sop butut, dan lain-lain. Namun, yang paling umum ditemukan adalah rendang dan sop tulang. Kebahagiaan menyantap daging meugang memang tidak terbayangkan.

Kebahagiaan saat hari meugang bukan saja milik pembeli daging. Penjual daging juga ketiban rezeki. Harga jual daging meningkat sehingga harganya pun ikut naik. Pada hari normal, di Lhokseumawe harga daging sapi per kilogram dibanderol sebesar Rp. 150.000 - Rp. 160.000. Namun, pada hari meugang daging dijual dengan harga Rp. 170.000 - Rp. 180.000. Bahkan di beberapa titik harganya bisa lebih tinggi lagi tergantung dengan kualitas sapi.

Meskipun harga daging mengalami kenaikan, masyarakat tetap membelinya. Minimal mereka bisa membeli satu kilogram untuk dimakan bersama keluarganya. Minat masyarakat untuk membeli daging tidak terbendung. Kunjungan ke pasar meningkat tajam sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Momentum tersebut juga dimanfaatkan oleh juru parkir, baik legal maupun liar. Secara lahiriah, suka cita menggelayut dalam sanubari masyarakat Aceh pada hari meugang

Meugang Ubiet dan Meugang Rayeuk

Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan,  masyarakat Aceh akan menyambut Idul Fitri dengan meriah. Khusus di hari meugang, masyarakat sangat royal untuk membeli daging. Bahkan, dua atau tiga hari sebelum hari raya, sebagian ada yang sudah menyantap daging. Kami menyebutnya dengan meugang ubiet atau kecil. 

Penjual daging sapi saat meugang ubiet memang tidak seramai meugang rayeuk. Saat meugang rayeuk, hampir di setiap titik pasar berjejalan para penjual daging sapi. 

Tradisi meugang di Aceh
Suasana pasar saat tradisi meugang di Aceh. Foto berlokasi di Pasar Inpres Lhokseumawe.
Daging sapi yang dijual saat meugang adalah sapi-sapi pilihan dan segar sehingga masyarakat bisa menikmati daging yang berkualitas. Hal ini tentu sangat berbeda ketika membeli daging di hari-hari biasanya di mana banyak dijual daging-daging yang sudah dibekukan. Daging meugang merupakan daging segar karena sapi-sapi disembelih pada malam hari bahkan ada juga usai salat subuh. Sapi dikuliti lalu diangkut ke pasar untuk dijual. Pembeli yang mendapatkan daging segar yang baru disembelih tentulah sangat beruntung. Apalagi jika daging tersebut langsung diolah sesuai dengan selera lidah. Kualitas rasanya adalah jaminan yang terlukiskan. 

Namun, tidak tertutup kemungkinan ada beberapa pedagang nakal yang berupaya "menggemukkan" sapi dengan cara liar atau ilegal. Jika ada orang yang paham dalam memilih daging sapi, tentu dia tahu bagaimana ciri-ciri daging berkualitas dan tidak. 

Saya pernah membeli daging sapi yang menurut saya adalah sapi yang sengaja digemukkan. Saya sempat merasa heran karena daging yang saya beli mengeluarkan banyak air. Ketika saya mencubit secuil daging yang berwarna agak pucat itu, saya bisa merasakan air bercampur dengan darah dan lengket di jari-jari saya. Memang harganya agak banting dibandingkan harga-harga daging sapi di sebelahnya. Tapi apa boleh buat, saya tetap mengkonsumsi daging tersebut walaupun rasanya kurang gurih.

Tradisi meugang di Aceh
Masyarakat sedang membeli daging sapi di pasar.
Di beberapa daerah kabupaten/kota lain, meugang kecil bahkan tidak kalah ramainya dengan meugang besar seperti di Banda Aceh dan Aceh Besar. Menurut pengamatan saya selama meugang di sana, saya bisa menyaksikan antusias masyarakat yang sangat tinggi untuk membeli daging sapi. Beberapa organisasi masyarakat bahkan dengan sukarela membagi-bagikan daging meugang secara cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu dan juga anggota-anggota organisasi tersebut. 
 
Meugang adalah warisan budaya dan (semoga) tidak akan tergerus akan waktu dan zaman yang semakin maju. Tradisi meugang bukan saja kearifan lokal yang perlu kita jaga bersama.Tapi tradisi ini wajib kita rawat secara berkelanjutan agar kita tidak lupa bagaimana cara bahagia untuk menyantap aneka olahan daging sapi di meja makan. Kebahagiaan yang akan terus dikenang bersama anggota keluarga. []

0 Response to "Tradisi Meugang Menyambut Idul Fitri"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel